Menanam yang Layak Dituai

Saat membaca Man’s search for meaning, pikiran ini membekas di hati saya.

What would remain when you strip human to their naked existence?

Apa yang akan tersisa, saat manusia dibebaskan dari belenggu pandangan moral, adat, budaya, dan agama? Akankah dia tetap melakukan kebaikan? Atau serta merta memenuhi keegoisan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya pada manusia lain?

Akankah seorang wakil rakyat tetap amanah dalam menjalankan perannya?
Akankah seorang pedagang tetap jujur dalam niaganya?
Akankah seorang ayah tetap ikhlas bekerja?
Akankah seorang suami tetap menjaga hati untuk istrinya?
Akankah seorang perempuan tidak goyah menolak rayuan lelaki beristri?

Karena ada kalanya pandangan moral, adat, budaya, dan agama memudar saat perasaan diuji dengan godaan. Menjadi manusia menurut saya adalah proses memerdekakan diri dari belenggu dan aturan tersebut dengan memanusiakan orang lain.

Mungkin, mungkin saja aturan-aturan itu diperlukan untuk membiasakan. Tapi semua yang bernyawa juga bisa dilatih dengan aturan dan kebiasaan. Sementara Tuhan menciptakan manusia dengan akal dan hati yang menjadikan mereka berbeda.

Tuhan menurunkan 5 kitabNya, mungkin untuk membiasakan manusia berpikir. Bukan hanya untuk menjadi baik dengan mengikuti aturan saja. Tidak ada yang menghalangiNya untuk menurunkan satu Rasul yang menyampaikan satu agama saja. Jika Dia ingin disembah oleh mereka yang hanya bisa hidup dengan aturan. Mungkin kita dilatih untuk berpikir dan merasa hingga saat semua aturan tersebut ditiadakan, kita tetap menjadi manusia.

Hari ini hari pertama 2022, orang bilang kita akan menuai yang kita tanam.
Saya tidak tau apakah ini benar atau salah. Yang saya tau hanyalah hukum kekekalan. Semesta tidak pernah mengambil atau menambah apa yang beredar. Semua dikembalikan ke dalam satu siklus utuh. Kebaikan akan beredar pada siklusnya, pun kejahatan.

Semoga dari hari ini ke depan, saya hanya menanam yang layak untuk dituai nantinya.